Salah satu wujud dan sifat khas masyarakat Jawa adalah bersikap prihatin dengan mengutamakan lelaku. Mengutamakan lelaku disini bertujuan untuk menuju kepada jalan makrifat mencapai ‘Jumbuhing Kawula lan Gusti’.
Ajaran kejawen tentang thalabul ilmi atau tentang menuntut ‘ngelmu dan lelaku’ dapat kita jumpai dalam ‘Serat Wedhatama’ karangan Sri Mangkunegara IV, Pupuh II – tembang Pucung, bait pertama yang berbunyi :
Ngelmu iku, kelakone kanthi laku
Lekase lawan kas, tegase kas nyantosani
Satya budya pangekese dur angkara
Terjemahannya :Ilmu itu, harus diperoleh melalui laku (belajar)
Dalam belajar niatnya harus kuat & mantap
Sabar tawakal untuk menghancurkan sifat angkara murka
Jika ajaran diatas diterapkan dalam kehidupan nyata maka mengandung makna bahwa untuk mencapai kesuksesan dan kesejahteraan hidup, entah itu dalam hal material maupun spiritual diperlukan sebuah dasar pondasi yang kuat dan kokoh, kemudian harus memahami dasar ilmu tersebut baik secara teoritis maupun aplikatif melalui praktik (lelaku) dalam kehidupan riil.
Pondasi yang kuat diatas digambarkan sebagai kekuatan jiwa yang memiliki daya hangngedab-edabi (dahsyat) sebagai wujud semangat makaryo (bekerja) untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu juga diimbangi dengan semangat pengabdian yang tulus untuk manembah artinya menjalani aktivitas ibadah keagamaan (hablum minallah), lelaku spiritual & ritual budaya.
Konsep keseimbangan tersebut juga berlaku sebagai dasar falsafah hidup orang jawa, Jika orang Jawa mengenal konsep : ‘Narimo ing Pandum’ (menerima takdir Illahi) bukan berarti dalam memenuhi kebutuhan hidup cukup dengan bermalas-malasan dan ibarat menunggu rezeki yang turun dari langit saja, artinya bahwa orang Jawa pada umumnya memiliki sikap prihatin dan etos kerja yang kuat untuk terus berusaha makaryo nggayuh kamulyaning gesang ndonya akherat.
SIKAP LAKU PRIHATINSikap hidup orang Jawa yang diwarisi dari leluhurnya terjelma didalam lelaku dan usahanya untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup. Sikap hidup yang demikian itu tampak dan diwujudkan sebagai sikap ‘prihatin’, yang intinya sikap hidup yang sederhana tidak berfoya-foya menghamburkan waktu & uang atau melampiaskan hawa nafsu untuk mendapatkan kenikmatan semu yang sementara saja.
Orang yang prihatin bukan berarti selalu bersedih-sedih, tidak menikmati hidup, senantiasa berpuasa, bersemedi, tetapi prihatin berarti bersikap, berpikir dan bertindak dengan penuh kesederhanaan, sesuai dengan kemampuan & kompetensi masing-masing.
Ajaran keprihatinan mengandung unsur kesederhanaan yang senantiasa terjelma dalam tatanan kehidupan tradisi, budaya dan spiritual kejawen. Dengan prinsip keprihatinan dan kesederhanaan tersebut setiap orang pasti akan dapat mencapai sesuatu yang maksimal sesuai dengan tolok ukur dan kemampuan masing-masing pribadi, tidak dengan tolok ukur orang lain terutama untuk sesuatu yang sifatnya berlebihan dibandingkan dengan kemampuan pribadinya. Sikap laku prihatin diatas sejalan dengan sikap yang selalu bersyukur dan ikhlas menerima setiap karunia Illahi.
Ajaran tentang lelaku dan ngelmu kejawen juga menunjukkan konsep kesederhanaan dalam berpikir dan berbuat, intinya sebaiknya kita tidak memimpikan menggapai bintang dilangit, tetapi hendaknya meraih saja apa yang mampu kita raih, yaitu belajar ngelmu yang bermanfaat dan mampu menjadi bekal hidup dan sarana untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan alam kelanggenggan nantinya.
SIKAP ELING LAN WASPADASarana utama untuk dapat mencapai ilmu makrifat, maka seseorang harus melandasi dirinya dengan sikap : eling, waspada, mbekas kahardaning driya. Pujangga besar R. Ranggowarsito dalam Serat Kalatidha, bait ke-7 Tembang Sinom menyatakan :
Amenangi jaman edan, Ewuh Oyo ing Pambudi
Melu edan ora tahan, yen tan melu anglakoni,
Boya kaduman melik, kaliren wekasanipun
Dilalah kersaning Allah, Sak begja-bejane wong kang lali
Luwih begja wong kang eling lan waspada.Terjemahan bebas :
Suatu hari nanti akan datang jaman edan yang serba sulit dalam menjalani hidup Kebanyakan orang akan menjadi ‘gila/lupa diri’ karena tak tahan menghadapi godaan, sebab kalo nggak ikut2an gila maka mereka nggak akan mendapat bagian dan mereka merasa was-was ketakutan akan berakhir tragis dengan mati kelaparan. Orang2 yang ‘gila/lupa diri’ ini tak akan segan dan sungkan melakukan manuver licik, sadis dan bengis menindas sesamanya (korupsi, manipulasi, kolusi, nepotisme, dll), mereka akan menghalalkan segala cara untuk mewujudkan ambisi dan memuaskan hawa nafsunya. Tetapi sesungguhnya takdir dan kehendak Allah akan membuktikan bahwa sebahagia-bahagianya orang yang ‘gila/lupa diri’ tidak akan sebahagia orang yang selalu eling ‘ingat’ dan waspada.
Dikutip : Dari berbagai Sumber oleh Ahmad Ismail Hamdani.-
http://www.metafisika-supranatural.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar